Sebab Utama Penulisan Kitab Ushul ad-Dakwah as-Salafiyah
Muqaddimah Kitab Ushul ad-Dakwah as-Salafiyah adalah ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Ushul ad-Dakwah as-Salafiyah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc. pada Sabtu, 12 Dzulqa’dah 1446 H / 10 Mei 2025 M.
Kajian Tentang Sebab Utama Penulisan Kitab Ushul ad-Dakwah as-Salafiyah
Penulis melanjutkan, “Telah mendorongku untuk mengumpulkan pokok-pokok dakwah salaf ini dua sebab yang sangat jelas.”
Sebab Pertama: Keterikatan Kelompok Menyimpang dengan Nama Salaf
Perkara pertama yang menjadi sebab penulisan kitab ini adalah adanya ketergantungan sebagian kelompok Islam yang bersifat hizbi (fanatik golongan) dan jauh dari manhaj salaf, dengan nama “salaf” yang suci dan mulia. Meskipun mereka bukan pengikut dakwah salaf, mereka menggunakan nama tersebut karena kemuliaannya.
Untuk memahaminya, perlu diketahui makna “salaf”. Secara bahasa, salaf berarti orang-orang yang mendahului dari para orang tua dan kerabat dalam hal usia dan keutamaan. Adapun secara istilah syariat, salaf adalah para sahabat, para tabi’in, dan para tabi’ut tabi’in, di mana generasi mereka berakhir pada abad ketiga Hijriah.
Istilah “salaf” ini bukanlah istilah baru, melainkan telah ada di dalam Al-Qur’an dan hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلْآخِرِينَ
“Maka Kami jadikan mereka sebagai salaf (pendahulu) dan permisalan bagi orang-orang yang datang kemudian.” (QS. Az-Zukhruf[43]: 56)
Begitu pula dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada putrinya, Fatimah radhiyallahu ‘anha:
نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Sungguh, aku adalah salaf (pendahulu) yang terbaik bagimu.” (HR. Muslim)
Bahkan istilah “salafush shalih” (salaf yang shalih) juga terdapat dalam hadits. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menguburkan putra beliau, Ibrahim, beliau bersabda:
الْحَقْ بِسَلَفِنَا الصَّالِحِ
“Susullah salaf kita yang shalih (yaitu Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu).” (HR. Ath-Thayalisi)
Makna Hizbi dan Praktiknya
Yang dimaksud dengan hizbi adalah kepanatikan terhadap sebuah pemikiran tertentu yang menyelisihi Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu membangun loyalitas dan permusuhan di atas pemikiran tersebut. Seorang hizbi akan berkorban demi pemikiran tersebut, meskipun ia bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
Inilah sebab utama yang mendorong Syaikh Abdus Salam bin Barjas untuk menulis buku ini. Adanya kelompok-kelompok hizbi yang fanatik pada pemikiran menyimpang, namun menggunakan nama “salaf” untuk menarik pengikut. Mereka tidak bisa terlepas dari kemuliaan nama salaf, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in—tiga generasi terbaik umat Islam yang dipuji langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabdanya:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena kemuliaan inilah, kelompok-kelompok hizbi tersebut mau tidak mau harus menisbatkan diri kepada salaf agar pemikiran mereka diterima.
Mencampur Racun ke dalam Madu
Akhirnya, kelompok-kelompok hizbi ini menerbitkan buku-buku dan tulisan-tulisan mereka dengan mendompleng nama “salaf” dan “ahlus sunah”. Dengan perbuatan ini, pada hakikatnya mereka sedang mencampurkan racun ke dalam madu. Mereka bersembunyi di balik nama mulia ini untuk menyamarkan kesesatan mereka kepada orang-orang.
Betapa banyak di dalam buku-buku dan tulisan-tulisan tersebut terdapat hal-hal yang sangat berbeda dengan manhaj salaf. Tulisan-tulisan itu justru membela mazhab-mazhab sempalan dan kelompok-kelompok yang menyimpang, seperti:
Khawarij: Kaum yang dikenal dengan pemberontakannya terhadap pemerintah yang sah dan mudah mengafirkan pelaku dosa besar.
Mu’tazilah: Kaum yang lebih mengedepankan akal daripada dalil-dalil syariat.
Sufiyah: Kaum yang lebih mengedepankan perasaan dalam beribadah daripada dalil Al-Qur’an dan hadits.
Terkait pemikiran Khawarij, salah satu ciri orang yang terpengaruh olehnya adalah ia akan marah apabila pemimpin muslim yang sah didoakan kebaikan di hadapannya. Padahal, pemimpin yang sah wajib didoakan kebaikan, dimuliakan, dan ditaati selama tidak dalam kemaksiatan. Pemberontakan terhadap mereka tidak dibenarkan kecuali telah terpenuhi syarat-syaratnya secara ketat, salah satunya adalah tampak kekufuran yang nyata dan tidak ada lagi keraguan atasnya. Itu pun tidak boleh dilakukan jika pemberontakan tersebut diperkirakan akan menghasilkan keadaan yang lebih buruk, dan fakta sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada pemberontakan kecuali keadaan setelahnya menjadi lebih buruk.
Inilah sebab pertama mengapa Syaikh Dr. Abdus Salam bin Barjas Al Abdul Karim rahimahullah menulis kitab ini: untuk menjelaskan batasan yang tegas agar umat dapat membedakan mana pengikut salaf yang sesungguhnya dan mana kelompok hizbi yang hanya mendompleng nama salaf.
Sebab Kedua: Penyalahgunaan Nama Ulama untuk Tujuan Tertentu
Sebab kedua yang mendorong penulisan kitab ini adalah tindakan yang dilakukan oleh sebagian kelompok dengan mengatasnamakan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah untuk merealisasikan tujuan tertentu mereka. Mereka berupaya mencapai suatu agenda melalui figur ulama yang namanya mereka bawa, padahal pada hakikatnya, kelompok tersebut sangat jauh dari pemikiran ulama yang bersangkutan. Mereka menyebut nama ulama tertentu, mengaku sebagai pengikut atau muridnya, agar masyarakat percaya dan akhirnya mengikuti mereka.
Untuk memperjelas pembahasan, penulis memberikan contoh secara terus terang. Sesungguhnya kelompok Ikhwanul Muslimin kerap menggembar-gemborkan nama dan perjuangan Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah (guru dari Syaikh Bin Baz rahimahullah) dalam isu yang mereka namakan al-hakimiyah.
Al-hakimiyah adalah sebuah konsep yang diangkat dari kata hakama (menetapkan hukum). Kelompok ini berpendirian bahwa tidak ada pemutus hukum kecuali Allah, dengan dalil yang sering mereka ulang:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al-An’am[6]: 57)
Berdasarkan pemahaman ini, mereka menganggap bahwa siapa pun yang bersandar pada undang-undang selain Al-Qur’an dan sunah telah melakukan penyimpangan besar. Mereka mengangkat isu al-hakimiyah ini seolah-olah ia adalah pokok tauhid tersendiri, padahal sejatinya ia adalah bagian dari tauhid rububiah, yaitu meyakini Allah sebagai satu-satunya pencipta, pengatur, penguasa, dan penetap hukum.
Kelompok Ikhwanul Muslimin mengangkat perjuangan Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam permasalahan ini karena beliau memang memiliki pendapat yang tegas bahwa berhukum kepada selain undang-undang Allah adalah sebuah kekufuran. Mereka mengira bahwa pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim tersebut dapat menguatkan kebatilan mereka.
Kebatilan yang lahir dari pemahaman keliru ini adalah mengafirkan negara dan membolehkan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah.
Penulis kitab dengan tegas menyatakan bahwa mereka telah berdusta atas nama Syaikh Muhammad bin Ibrahim. Sikap Syaikh Muhammad bin Ibrahim terhadap negara sangatlah jelas dan tidak ada keraguan padanya. Beliau telah berbicara mengenai hal ini secara lugas dalam sebuah risalah berjudul نصيحة مهمة في ثلاث قضايا (Nasihat Penting dalam Tiga Perkara). Dalam risalah tersebut, beliau menjelaskan sikapnya terhadap para pemimpin yang sah dan menegaskan wajibnya menaati mereka selama tidak dalam perintah untuk bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Oleh karena itu, dakwah salaf sangat menekankan untuk tidak mencela, mendemonstrasi, apalagi memberontak terhadap pemimpin muslim yang sah. Sikap tunduk, patuh, dan taat kepada pemimpin adalah bagian dari syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebuah bentuk ibadah yang diharapkan pahalanya dari Allah, dan bukan tindakan menjilat.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan ada dua sebab utama penulisan kitab ini:
- Adanya kelompok hizbiyin (orang-orang yang fanatik terhadap sebuah pemikiran yang menyelisihi Al-Qur’an dan sunah, lalu loyal dan berkorban deminya) yang mendompleng nama “salafush shalih”.
- Adanya kelompok yang menggunakan nama-nama ulama tertentu, seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah, untuk melegitimasi agenda mereka. Mereka mengambil perkataan seorang ulama yang terlihat keras dalam suatu masalah, lalu menafsirkannya sesuai hawa nafsu mereka, padahal ulama tersebut dengan tegas menjelaskan kewajiban untuk taat kepada pemimpin muslim yang sah selama tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian lengkapnya.
Download mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55313-sebab-utama-penulisan-kitab-ushul-ad-dakwah-as-salafiyah/